Edukasi kelola sampah organik dengan komposter ember tumpuk di Bank Sampah Balai Raja |
Isu perubahan iklim kembali mencuat. Hal ini diperburuk dengan adanya fenomena iklim tidak biasa yang kita rasakan belakangan ini, seperti panas terik dan ancaman kemarau berkepanjangan. Perubahan iklim (climate change) adalah perubahan unsur iklim (suhu, kelembaban, hujan, tekanan, dan angin) dalam waktu yang relatif panjang. Salah satu tanda terjadinya perubahan iklim adalah terjadinya perubahan pada musim (pergeseran musim) dan cuaca.
Saat ini, Indonesia sedang mengalami pergeseran musim hujan, tidak lagi serupa dengan apa yang selama ini kita pelajari di sekolah dasar, yaitu 6 bulan musim hujan dan 6 bulan musim kemarau. Ini terlihat dari temuan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang mengungkapkan bahwa dalam satu dekade terakhir musim hujan di Indonesia lebih panjang.
Perubahan unsur iklim ini telah mengakibatkan cuaca yang tidak menentu. Semisal hujan turun lebat masih turun saat musim kemarau seperti sekarang ini.
Perubahan iklim terjadi akibat penumpukan emisi gas rumah kaca di atmosfer melebihi kapasitas yang dapat diserap kembali oleh bumi melalui hutan dan laut. Perubahan iklim ini bermula dari revolusi industri yang ditandai dengan pemakaian bahan bakar fosil seperti batu bara. Jadi adanya perubahan iklim dapat dikaitkan dengan perilaku manusia, maka manusia jualah yang harus bertanggung jawab.
Secara alamiah Bumi mengalami banyak siklus pendinginan dan penghangatan. Dalam beberapa juta tahun terakhir, aman es terjadi setiap 100 tahun, yang terakhir terjadi sekitar 75.000 sampai 15.000 tahun yang lalu. Perubahan iklim yang sangat ekstrem selalu berbarengan dengan kepunahan massal. Kita menyadari bahwa keterjadian bencana ekologis berupa banjir, angin kencang, gelombang tinggi, dan kenaikan muka air laut semakin meningkat. Dampaknya pun terasa di mana-mana dan semakin berbahaya.
Berbagai bencana ekologis itu terjadi akibat perilaku kita semua, tanpa kecuali. Saat melakukan bepergian, mengonsumsi, baik pangan maupun pakaian, hingga cara membuang sampah secara langsung atau tidak, ikut berkontribusi pada perubahan iklim.
Kontribusi sampah terhadap perubahan iklim
Meningkatnya jumlah emisi gas rumah kaca di atmosfer disebabkan oleh kegiatan manusia di berbagai sektor seperti energi, kehutanan, pertanian dan peternakan serta sampah. Manusia dalam setiap kegiatannya hampir selalu menghasilkan sampah. Sampah mempunyai kontribusi besar untuk emisi gas rumah kaca yaitu gas metana diperkirakan 1 ton sampah padat menghasilkan 50 kg gas metana.
Metana merupakan gas yang terbentuk dari proses penguraian anaerob sampah organik yang juga sekaligus penyumbang gas rumah kaca yang mempunyai efek 20-30 kali lipat dibandingkan dengan gas karbondioksida.
Kompos, kurangi emisi metana
Menurut laporan terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa, mengurangi emisi gas metana sangat penting untuk mengatasi krisis iklim dan dengan cepat membatasi cuaca ekstrem yang tengah melanda orang di seluruh dunia saat ini.
#BersamaBergerakBerdaya mengurangi emisi gas metana dengan menggunakan metode kompos, dimana di dalam metode ini akan terdapat proses penguraian aerob yang tidak menghasilkan gas metana, sehingga metode ini akan mengurangi emisi metana ke dalam atmosfer.
Dengan aktivitas membuat kompos, kita tidak hanya mengurangi volume sampah organik, tetapi juga mendapatkan banyak manfaat lain. Di antaranya kita bisa mendapatkan pupuk yang baik sehingga kita dapat mengurangi pemakaian pupuk kimia, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan memitigasi perubahan iklim.
Cara membuat kompos dapat dilakukan melalui berbagai media dan wadah, yang disebut dengan komposter. Terdapat dua jenis komposter, yaitu komposter aerob (dengan udara) dan komposter anaerob (tanpa udara). Setiap cara membuat kompos menghasilkan produk akhir yang berbeda.
Salah satu cara membuat kompos yang mudah dilakukan adalah mengompos dengan metode biopori. Biopori termasuk jenis komposter aerob. Selain berfungsi untuk resapan air, biopori juga bisa mengolah sampah organik. Sampah organik dimasukkan ke dalam lubang untuk memberdayakan pengurai seperti cacing dan mikroba. Selanjutnya, cacing akan membentuk pori-pori dalam tanah yang disebut biopori yang berguna untuk resapan air dan menyediakan udara di lubang biopori. Lubang diisi kembali dengan sampah organik jika telah terjadi penyusutan akibat penguraian. Penguraian butuh waktu kurang lebih 2 minggu untuk sampah organik dari dapur dan kurang lebih 2 bulan untuk daun dan ranting. Kompos yang dihasilkan dapat diambil dan digunakan sebagai pupuk tanaman.
Selain pengomposan yang menghasilkan pupuk padat, ada pula metode
komposter secara anaerob yang menghasilkan pupuk cair. Saya lebih suka komposter ember tumpuk yang bisa mengurai sampah organik dari dapur menjadi pupuk padat dan pupuk cair. Lalu,apa itu ember tumpuk? Ember tumpuk merupakan komposter pengurai sampah organik dari dapur keluarga yang dibuat dengan menyatukan dua buah ember yang disusun bertingkat.
#UntukmuBumiku tak cukup dengan gerakan buang sampah pada tempatnya, karena sampah yang dibuang pada tempatnya tetap akan dikirim ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Di TPA, sampah yang tercampur khususnya sampah organik yang membusuk bisa menghasilkan gas rumah kaca. Oleh karena itu, melakukan pengomposan dengan memanfaatkan sampah organik punya peran yang strategis dalam memitigasi perubahan iklim. Kalau #BersamaBergerakBerdaya versi kalian apa nih? Boleh dong tulis di kolom komentar ya!
EmoticonEmoticon