Salah satu penyebab belum optimalnya hasil belajar adalah model pembelajaran yang digunakan kurang sesuai dengan materi yang diajarkan. Oleh karena itu, guru harus menemukan model pembelajaran dan media yang cocok untuk diterapkan di kelas.
Salah satu caranya adalah dengan menggunakan cooperative learning model. Cooperative learning dapat didefenisikan sebagai model pembelajaran dengan memberikan tugas kepada siswa yang lebih pandai dalam sebuah kelompok kecil yang hasilnya akan dipresentasikan kepada kelompok lain di dalam kelas. Hasil kelompok tersebut akan dibahas dan ditanggapi sehingga terjadi proses belajar aktif dan dinamis.
Falsafah yang melandasi model pembelajaran ini adalah pembelajaran gotong royong. Menurut Robert Slavin, cooperative learning termasuk paham pembelajaran konstruktivisme. Pembelajaran konstruktivisme merupakan suatu teknik pembelajaran yang melibatkan siswa untuk membina sendiri secara aktif pengetahuan dengan menggunakan pengetahuan yang telah siswa miliki sebelumnya.
Model ini memiliki banyak kelebihan yakni membanguan komunikasi antarsiswa secara informal sehingga membuat siswa cepat memahami materi yang sedang dipelajari. Siswa yang kesulitan memahami materi pelajaran, dengan penjelasan temannya yang lebih pandai, akan lebih mudah memahami materi yang sedang dibahas, selain itu mereka juga terlatih untuk belajar menghargai pendapat orang lain.
Melalui model pembelajaran ini, siswa yang pandai dapat membangun karakter peduli, tenggang rasa, sifat berbagi, bertanggung jawab kepada teman sejawat, dan melatih kemampuan berkomunikasi. Dengan begitu secara tidak langsung, melalui kegiatan ini, siswa yang pandai akan memperdalam dan memeperluas pengetahuannya, dia akan belajar lebih keras agar bisa lebih baik menjelaskan kepada teman di kelompoknya.
Bagaimana cara menerapkan cooperative learning model?
Mengutip Majalah Jendela Pendidikan dan Kebudayaan, model cooperative learning sangat mudah diterapkan di kelas. Pertama, guru memilih beberapa siswa yang lebih pandai dan diberikan penjelasan terlebih dulu apa yang harus dilakukan dalam kelompok. Kedua, guru membagi siswa dalam beberapa kelompok kecil yang anggotanya tidak lebih dari sepuluh siswa agar interaksi antarsiswa lebih dinamis. Keaktifan kelompok menjadi faktor yang amat penting untuk mencapai hasil yang optimal dalam membahas materi yang sedang dipelajari. Oleh karena itu, guru berperan untuk mengontrol dan memfasilitasi jalannya proses diskusi.
Beberapa hasil penelitian menujukkan bahwa model cooperative learning dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Penelitian yang dilakukan oleh Slavin menunjukkan hasil yang positif. Siswa yang mempraktikkan cooperative learning hasilnya lebih baik dari model pembelajaran konvensional. Begitu pula dengan Roger dan Jhonson yang membandingkan model cooperative learning dengan model individual dan model kompetisi. Hasilnya, siswa lebih efektif belajar ketika bekerja sama. Dengan bekerja sama, prestasi lebih mudah untuk dicapai.Selain itu, komunikasi dan toleransi antarsiswa jadi lebih baik karena mereka tidak membedakan ras, agama, latar belakang keluarga, dan perbedaan lainnya.
Cooperative learning bisa diterapkan di semua jenjang dan satuan pendidikan mulai SD, SMP, SMA, maupun perguruan tinggi/sederajat. Penerapan model ini di setiap jenjang memerlukan strategi yang baik. Di jenjang SD/sederajat perlu perhatian lebih karena tahap awal mendidik anak untuk melatih berkomunikasi dan bersosialisasi dengan teman sejawat, sementara itu di SMP dan SMA/sederajat sangat bagus untuk melatih anak melai berani mengeluarkan pendapat, berani tampil presentasi mengkomunikasikan hasil kelompoknya, di perguruan tinggi/sederajat tentu sangat bagus untuk melatih bernegoisasi dan kemampuan lainnya yang sangat bermanfaat ketika mereka terjun di masyarakat atau di dunia kerja.
EmoticonEmoticon